Thursday, February 21, 2013

Surat Dahlan

Buku kedua dari Trilogi Novel Inspirasi Dahlan Iskan, Surat Dahlan, memberikan unsur yang baru. Dari buku sebelumnya, Sepatu Dahlan, hanya menceritakan perjuangan Dahlan meraih kedua cita-citanya: sepatu dan sepeda. Kini, di serial keduanya, cerita inspirasi itu lebih penuh dengan intrik-intrik tajam dan geletar cinta yang lebih dalam.
Bermula dari merantaunya Dahlan ke Samarinda guna menepati janjinya, kuliah, dengan seseorang yang dicintainya, Aisha. Di sana, perantauan dari Kebon Dalem itu menetap di rumah Mbak Atun, kakaknya yang juga menetap di Samarinda. Berkuliah di dua tempat membuatnya semakin malas, dia lebih memilih untuk bercengkrama dengan kawannya di PII, Pelajar Islam Indonesia, karena dapat lebih leluasa mencurahkan segala keluh kesah.
Suatu hari, Dahlan dengan beberapa kawan PII-nya, Syaful, Latif, Syarifuddin, dan Nafsiah, mengadakan unjuk rasa kepada pemerintah yang saat itu kebijakan di tanah air sedang karut marut. Dahlan pun ditunjuk menjadi pemimpin aksi kala itu, mereka melancarkan keberanian dan kepedulian terhadap negeri di Tugu Nasional. Walau terlihat lancar, aksi mereka tetap diadang oleh segerombol tentara berlaras senapan. Kelompok unjuk rasa PII pun kabur morat-marit dengan adangan popor senjata tentara. Dahlan yang tergelincir jatuh ke jurang diselamatkan oleh Nenek Saripa.
Sejak saat itu, jalan hidupnya berubah. Setelah dirawat lebih dari tiga hari oleh Nenek Saripa, keponakannya, Sayid, mengajak Dahlan untuk bergabung menjadi wartawan di koran Mimbar masyarakatTanpa menyela pun Dahlan langsung menganggukan kepala seraya menerima tawaran Sayid. Tak hanya itu, satu-satunya teman perempuannya di PII, Nafsiah, terbeberkan mencintai Dahlan secara diam-diam.
Kini di sepanjang perjalanan cintanya, Dahlan muda dibekali tiga pilihan yang membingungkan, Maryati, Nafsiah, dan Aisha. Meski ada beberapa yang lain, hati Dahlan kala itu tetap tertuju kepada Aisha. Walau jauh, Aisha tetap menyurati Dahlan dengan kalimat-kalimat rindu. Terjadi banyak kecamuk dalam sanubari Dahlan muda dengan kecintaanya terhadap Aisha. Jarang sekali, dari banyak surat yang diterima, dibalas olehnya.
Satu demi satu telah memilih jalannya. Maryati ,saking cintanya terhadap Dahlan hingga merantau ke Samarinda, telah memilih menikah dengan Paijo. Aisha yang ternyata mengkhianati janji tersebut dikabarkan telah menikah. Kini, tinggalah Nafsiah. Dia pun tak akan melepaskan begitu saja kesempatan terakhirnya. Tidak untuk kehilangan lagi.
Fokus terhadap surat kabar yang diembannya membuat dia melupakan kegetiran cinta. Kariernya pun melesat. Dari hanya sebagai wartawan biasa, kini menjadi Redaktur Pelaksana. Ia pun diberikan kesempatan langka untuk belajar tentang jurnalistik di Tempo yang membuatnya direkrut menjadi Koresponden Daerah. Hal itu pun yang mengawali buah kerja kerasnya hingga akhirnya menjadi Pemimpin Redaksi Surat Kabar Jawa Pos.
Kisahnya berjalan dengan disandingi nyawa baru di kehidupannya, Istri dan kedua anaknya. Tak luput tanah kelahirannya, Kebon Dalem, pun disambangi guna memperkenalkan keluarga barunya kepada sanak saudara di sana, Bapak dan Adiknya.  
Buku ini diakhiri dengan epilog yang mengena di hati para pembaca tentang wejangan dari Bapaknya dan ingatan terhadap Ibunya. Tak hanya akhir, beberapa bagian di dalam buku ini pun terkandung petuah, berupa dongeng, yang dapat menginspirasi pembaca tentang menjalani hidup. Kisah seorang pekerja di habasyah contohnya, menyimpulkan agar seluruh umat manusia dapat lebih hati-hati menjaga lidah dan hati.
Buku ini memiliki banyak kelebihan dan manfaat. Dari sisi cerita dan gaya bahasa yang dipakai, pembaca dapat lebih mudah mencerna kehidupan seseorang yang dikisahkan ini, Dahlan. Pitawat yang tersirat di dalam buku ini pun memberikan manfaat yang banyak, khususnya untuk perjalanan hidup, seperti yang terdapat di paragraf sebelumnya.
Tak ada kekurangan dari segi visual, hanya saja, beberapa kalimat yang menggunakan bahasa Jawa tidak disertakan arti, membuat pembaca yang kurang mengerti bahasa Jawa tidak paham artinya. Terlepas dari semua itu, buku ini sempurna untuk segala umur yang ingin mengetahui betapa berartinya hidup ini.

No comments:

Post a Comment